REVISI: MENCINTAI SEPASANG SEBAB KEBERADAAN



Teman, aku amat percaya pada janji yang Tuhan beri, janji yang Dia beri untuk hambaNya yang berprasangka baik terhadap setiap ketetapan yang Dia buat. Inilah akhir bahagia yang aku dapat bersama keluarga kecilku di pesisir pantai Yogyakarta. Inilah kesempatan yang Tuhan beri untuk membalas semua keegoisan juga keangkuhan yang selama ini membutakan batinku.
Maka, ketika semua penjelasan langit itu mulai ku terima dan ketika semua hati telah terbuka lebar untuk menerimanya. Kini saatnya aku kembali mengabdi, mengabdi pada sepasang sebab keberadaanku yang paling berharga, meski kini hanya tertinggal satu saja. Karena selamanya, yang mati takkan pernah pergi dari hati, dan yang masih tersisa akan selalu menjadi berharga.
Semua Berawal, Teramat Rumit di Jelaskan
Seseorang itu marah seperti biasanya. Tapi kali ini aku merasa seseorang itu marah besar  akan jadi apa kau hidup di sini, menjadi petani karet seperti kami, hah?”. Apa salahnya jika aku tetap berada di kota kelahiranku. Aku teramat mencintainya teman. Maka aku menolak untuk sekolah di kota besar. Dan ini lah yang memicu kemarahan besar itu.” Akan menjadi apa kau jika tetep tinggal disini, hah?. Apa kau akan tetap menjadi anak yang tak bisa dibanggakan, tak bisa diandalkan?”. Aku semakin meradang mendengar semua itu teman. Maka pada saat itu aku marah sekali. Masuk kamar, membanting pintu dan tak mau makan seharian. Aku berpikir apa perlunya seseorang itu marah dan mengatur atur masa depanku (benar benar pemikiran yang salah kala itu).
            Permasalahanku belum selesai sampai di situ teman. Malamnya, ketika ayah membawakan makanan ke kamar, seseorang itu mengikuti dari belakang. Seperti biasa, ia membuat suasana semakin runyam. “Biarkan saja yah, dia memang perlu diberi pelajaran. Tak usahlah ayah repot repot membawa makanan. Dia sudah besar, seharusnya dia sudah dapat diandalkan, jangan justru mengandalkan orang lain”. Ayah hanya terdiam kala itu teman, aku tahu ayah bukannya tak berani pada seseorang itu, hanya saja ayah tak ingin menjadikan ketidaknyamanan ini semakin menjadi. “yah, pokoknya ibu tidak mau tahu, anak itu harus bersekolah di kota besar, kalau perlu kirim dia pada ciknya di Jogja, biarkan dia sekolah disana, biar dia tahu rasanya jauh dari kita”. Sungguh teman, kemarahanku semakin menjadi. Kujadikan rasa marah itu sebagai belati yang perlu ku takhlukkan, aku bertekad dalam hati untuk mematahkan kata katanya. Aku akan tumbuh menjadi anak yang dapat diandalkan, dapat di banggakan. Dan aku katakan hal itu pada ayah di depan seseorang itu. Tekad yang bercampur amarah teman. Ahh, tak apa, aku bahkan menjadikan tekad itu menjadi awal. Awal kemarahanku, ketidak pedulianku pada seseorang itu (sungguh kesalahan besar aku melakukan semuanya. Kesalahan besar yang akan disadari jika mendengar cerita dari sudut pandang yang berbeda. Kesadaran itu teramat sulit dipelajari bersama rasa marah).
Yogyakarta, Tahun ke Dua.
Senja itu sedihku semakin membuncah teman, kau mau tahu kenapa?, aku akan menceritakan detail ceritanya.
Kunjungan itu seharusnya menjadi berita bahagia bagi seorang anak rantau. Apa yang kau rasakan jika kau merantau jauh ratusan kilometer dari orang tua kau, kemudian tiba tiba mereka memutuskan untuk menemani kau, tinggal bersama kau teman?. Ada banyak anak rantau yang akan bahagia tak terkira kala mendengar berita itu, tapi tidak untukku teman. Kau akan tahu nanti, ketika aku mulai menceritakan detail penyebabnya.
            Teman, sore itu ayah meneleponku, beginilah kira kira kabar itu dimulai.
Qalby, ayah dan ibu kau sepakat akan menyusul kau ke yogyakarta, apa kau setuju?” saat itu aku terlalu kecil untuk menangkap dengan cepat apa maksud ayah, “ya sayang, ayah dan ibu kau akan tinggal di Jogja, menemani kau. Kau pasti senang kan?”. Sejujurnya aku akan teramat senang jika ayah saja tanpa seseorang itu ikut bersama. Tapi aku takkan membuat ayah kecewa, maka aku terpaksa menyetujuinya.
            Seminggu setelah telepon itu, ayah benar benar datang bersama seseorang itu. Seketika itu juga otak masa kanak kanak ku mulai bereaksi, berfikir bahwa dunia ku akan semakin runyam oleh seseorang itu. Dan dugaanku teramat benar kala itu teman (kusadari dugaanku teramat salah setelah beberapa tahun berlalu, setelah aku tahu runtutan kehidupan yang seseorang itu miliki teramat baik). Seseorang itu memberikan ultimatum yang lebih kejam dari dua tahun sebelumnya. Untuk kali ini dan selanjutnya aku akan ceritakan detail katanya agar kau benar benar mengerti penderitaan yang besar kala itu (ketika pemahaman itu belum muncul).
Kau jangan hanya menghambur hamburkan uang di sini, ayah kau mengirim kau uang bukan untuk berhura hura dan bermain terus”. Aku hanya terdiam mendengarkan, jujur pada saat itu aku berfikir untuk melawan, karena aku tak pernah merasa seperti yang dia tuduhkan kepadaku. Tapi untuk menghormati ayah, aku tetap terdiam “maka tahun depan kau lulus dengan tanpa nilai sembilan, kau takkan lagi dapat kiriman, ” mataku membelalak seketika teman, aku tak menyangka kala itu bahwa ada orang setega seseorang itu. Ketegaan itu belum berakhir teman, karena sesesorang itu mengharuskan aku belajar terus menerus. Aku teramat lelah sebenarnya teman, hanya saja (lagi lagi) demi ayah aku masih tetap bertahan. Aku ingin membuktikan kata kata ku dua tahun lalu ketika aku mendebat seseorang itu.
            Dan benar saja teman, di tahun berikutnya, ketika semua anak sedang cemas menanti hasil Ujian Nasional keluar aku justru sudah sibuk beberes. Membereskan syarat- syarat yang harus ku penuhi. Membuat pasport, searching data keberangkatan Jakarta- Singapura dan keperluan lainnya. Ya teman, aku sudah menerima surat langsung dari NUS (National University of Singapure) yang menyatakan bahwa aku mendapat beasiswa di sana. Antara rasa bangga juga sombong. Bangga karena aku tak pernah menyangka sama sekali aku mendapatkan kesempatan ajaib ini, sombong karena pada akhirnya aku bisa membuktikan pada seseorang itu jika aku bisa dibanggakan. 
Tahun Pertama di Negeri Orang,
“Maafkan ayah ya Qalbi, ayah tidak bisa mengantarkan kau sampai Singapura. Ayah ada tugas ke Lombok besok senin. Ayah harap ibu kau cukup untuk mengantarkan kau.” Kata ayah malam sebelum keberangkatanku ke Singapura. Aku menggeleng kuat pada ayah, mengatakan bahwa aku bisa berangkat sendiri. Saat itu dalam benakku lebih baik aku berangkat sendiri daripada aku harus bersama seseorang itu tanpa ayah. Ayah mengernyitkan dahi dan melirik seseorang itu, sesorang itu hanya mendengus kesal dan mengatakan jika ia pun takkan sudi menemani diriku. Ayah menarik nafas dalam sekali teman, dan aku tahu pasti jika ayah teramat lelah menjadi saksi perseteruan ini selama tiga tahun lebih. Ahh sungguh ayah, betapa bebal hati ini kau nasehati, maafkan aku, karena aku terlambat menyadari semua kata yang kau ucap. Maka ketika semuanya terjadi, aku akan selalu menjadi yang teristimewa.
. Semuanya terasa benar benar melelahkan, melelahkan badan bahkan melelahkan hati juga. Kau tahu teman, usiaku delapan belas tahun saat itu, ketika aku memulai kemandirianku. Semuanya sendiri, tak ada ayah, tak ada saudara, bahka seorang kenalan sekalipun, meninggalkan Yogyakara yang baru tiga tahun kurasakan eloknya. Berat memang, ketika aku mengawali semua perjalana ini. Pergi ke Singapura bahkan bukan hanya sekedar meninggalkan kampung halaman seperti yang kulakukan saat aku lulus dari SMP, karena kali ini aku harus meninggalkan bumi pertiwi yang selalu ku kagumi. Tapi tak apa teman, ini adalah pilihanku sendiri, aku ingin menjauh dari seseorang itu sejauh jauhnya, sebuah alasan yang beberapa bulan kemudian, ketika aku merasakan kenyamanan ku rasakan teramat berbeda. Pengalaman  ini sangat membanggakan.
Graduation Day,  Kebanggaan Ayah
            Seminggu sudah perayaan graduation day. Aku bisa bernafas lega sekaligus bangga akhirnya aku bisa lulus normal tiga setengah tahun dari NUS, bahkan aku tak perlu menghawatirkan nasibku selanjutnya karena aku juga sudah medapat posisi baik di salah satu perusahaan pialang di Singapura. Aku bahagia sekali teman, karena pada akhirnya aku bisa membuktikan pada seseorang itu jika aku bisa diandalkan. Maka ketika ayah dan dia menghadiri perayaan graduation day dengan bangga aku memamerkan piala  best of the year  yang aku dapatkan pada mereka. Sungguh teman, kebahagiaan itu tiada tara.
Aku tahu ayah juga amat sangat bahagia, terlihat jelas dari raut wajahnya, kebahagaiaan itulah yang pada akhirnya menular pada seseorang itu. Ia mengucapkan selamat atas keberhasilan ku. Aku tak perlu memberitahu kau detail ceritanya teman, tak penting (kau pasti tahu jika hatiku masih saja membatu). Kebahagiaan itu pula yang membuat ayah membuka lagi cerita kanak kanakku dulu, saat aku masih di pedalaman pulau sumatra. Ia terlihat amat bangga teman, dan aku senang akan hal ini.
Kau memang selalu membuat ayah dan ibu kau bangga nak. Ayah senang sekali akhirnya kau mewujudkan mimpi mimpi kau. ” ayah melirik sebentar pada seseorang itu, tapi yang bersangkutan hanya berdehem. “ bahkan sedari kecil kau sudah membuat bangga kami. Kau anak yang suka membantu orang lain. Kau bahkan membuat keluarga besar kita menghargai masa kecil kau. Ayah teramat bangga nak” ayah masih saja membuatku melambung akan pujiannya. Dan entah bagimana mulanya ayah sudah sampai pada cerita itu.
Kau ingat nak, kala itu usia kau delapan tahun, masih terlalu kecil untuk memahami sebuah kepergian. Tapi kau berbeda nak, kau bahkan merubah tangis kesedihan karena kepergian itu menjadi tangis haru.” Ya, aku ingat bagaimana cerita detailnya teman. Kala itu, langit kota tempat di pedalaman Sumatra tempatku di lahirkan tak seperti biasanya, mendung pada musim musim kemarau. Ternyata  itu bukan hanya sekedar perubahan cuaca akibat Global Warming yang satu dekade terakhir hangat diperbincangkan. Ada pertanda di sana, pertanda kesedihan yang ditujukan langit untuk keluarga besar kami. Kakek kesayangan kami  meninggal dunia. Maka ketika kesedihan mengukung keluarga besar kami, untuk pertama kalinya aku mengucapkan kalimat mujarab itu. Kalimat yang akan permudah langit menjelaskan keikhlasan itu, “Karena selamanya, yang mati takkan pernah pergi dari hati, dan yang masih tersisa akan selalu menjadi berharga”. Ahh aku tak akan menceritakan detailnya teman. Biarkan cerita ini mengalir seiring khayalan kau membayangkannya.
Seperempat Tahun 2010 yang Terakhir, Masih dengan Hati Yang Sama
            Sudah sebulan lamanya ayah tak lagi menelfon atau kirim pesan padaku, mahal pulsa interlokalnya kata beliau waktu aku tanya alasanya. Sebagai gantinya ayah belajar kirim email pada tetangga sebelah. Setelah siang harinya ayah meminta alamat email ku, malamnya ayah mulai mengirim email kepadaku.
“Qalbi anak ayah, maafkan ayah ya, mungin untuk sekarang ini dan mungkin nanti nanti ayah tak lagi  dapat menelfon kau. Sebagai gantinya ayah belajar kirim email sama pak Rahmat, tetangga sebelah kita. Biar ayah tetap bisa berhubungan dengan kau. Tak apa kan sayang?. Ayah sayang kau nak, salam sayang juga dari ibu kau”.
            Tahukah kau kawan, kalimat terakhir email ayah membuat kegelisahanku malam ini bertambah. Jujur saja sampai saat ini aku belum mau jika dikatakan sebagai anak yang durhaka setelah apa yang aku lakukan pada seseorang itu. Dan aku tahu ayah sengaja menyebutnya agar aku masih mau mengingat sosoknya. Ahh ayah memang selalu mengerti kondisiku dari dulu, membuat kerinduan ku padanya semakin membuncah. Maka ketika malam menjelang, chatting dengannya menjadi obat tersendiri untuk rasa lelah setelah bekerja setiap hari, rutinitas baru ini juga yang sedikit banyak menawarkan kegelisahan batin yang ku derita akhir akhir ini.
            Namun, di malam kesekian aku chatting bersama ayah suasananya berbeda, dan aku tahu pasti apa penyebabnya.
“Bi, hari ini ibu kau tiba tiba muntah. Entah kenapa ayah juga tak tahu. Sudah seminggu ini pula ibu kau sering mengeluh pusing pusing dan sering kali marah marah. Do’akan kesehatan ibu kau ya Bi. Ayah sayang anak ayah, Qalbi Maulida, dan ibu kau lebih sayang pada kau.”
            Setelah membaca email ayah itu aku tak ingin berbuat apa apa lagi. Aku ingin segera tidur dan berharap esok terbangun dalam kaadaan tak ingat email ayah malam ini. Lagi lagi ego ku mengalahkan kepedulian itu teman, menambah kegelisahan ku yang akhir akhir ini semakin menjadi saja. Hanya satu hal saja yang bisa ku pastikan tetap sama, perasaan ku terhadap seseorang itu.
Awal Tahun 2011, Ibu Sakit 
Ini email pertama ayah di awal tahun ini teman, tak ada ucapan selamat tahun baru, tak ada cerita  cerita yang membuat ku bersemangat, apalagi canda tawa, tak sempat. Semuanya hanya tentang seseorang itu, yang aku tahu suasana dan kondisinya semakin runyam. Aku bisa mengatakan hal itu setelah membaca email ayah.
“ Maafkan ayah Bi, kali ini ayah mungkin akan membuat kau sedikit kecewa. Ayah sebenarnya ingin memberi tahu kau  sejak sebulan lalu, hanya saja ibu kau melarang. Ibu kau sakit gagal ginjal Bi. Setelah ibu kau sering mengeluh pusing pusing tahun lalu, ayah mengajak ibu kau check up ke dr. Hanang, tapi dr. Hanang menyuruh ayah untuk megajak ibu check up ke rumah sakit. Jujur ayah takut terjadi apa apa dengan ibu kau Bi. Maka siang itu juga ayah mengajak ibu kau check up ke rumah sakit. Sesampainya ibu kau di rumah sakit, dokter memeriksa ibu kau lama sekali dan setelah selesai dokter yang memeriksa ibu kau meminta persetujuan ayah untuk melakukan cek darah dan cek urine. Sungguh Bi, ayah takut sekali ketika dokter itu mengatakan bahwa ibu kemungkinan gagal ginjal. Maafkan ayah atas berita ini ya Bi, ayah harap anak ayah tidak terganggu pekerjaannya karena ini. Doakan atas kesehatan ibu kau ya Bi.”
Tiga hari kemudian ayah mengirim email lagi,
“Setelah dokter mengatakan ibu kau benar benar dinyatakan gagal ginjal terminal. Ibu kau harus mulai melakukan Hemodialisis Bi. Tadi siang ayah mengantarkan ibu kau HD yang pertama dan alhamdulillah semua berjalan lancar. Ayah tahu semua ini berkat doa kau juga Bi. Ayah tahu doa kau selalu terijabah nak. Doakan ibu kau agar selalu baik baik saja.  Sekali lagi maafkan ayah untuk berita berita tak mengenakan yang akhir akhir ini ayah sampaikan. Tetap sukses dan mulia  ya Bi.”
Teman, mungkin ayah sedikit banyak benar. Meski enggan untuk mengakui, perlahan kepedulian ku kembali. Dan entah bagaimana caranya untain kata itu ku panjatkan kelangit, dan entah bagaimana ceritanya aku jadi sering berkutat di depan layar untuk mencari data tentang penyakit yang di derita sesesorang itu.

Pulang
 “ Pulanglah nak, ibu kau sakit keras, dan sudah dua minggu terakhir ibu kau masuk  rumah sakit, pulanglah sebelum kau terlambat”.
Lama sekali aku merenungi email yang ayah kirim shubuh tadi, ego dan rasa iba bertengkar hebat antara memutuskan pulang atau tidak, hingga pada akhirnya aku merasa lelah dan membiarkan pesan itu berlalu tanpa balasan.
Esok paginya ketika aku mencoba membuka email yang masuk, hanya ada satu email yang ada, dari ayah. Seketika jantungku berdegup kencang. Dengan sedikit bergetar ku buka email ayah.
 Pulanglah nak, untuk terakhir kalinya ayah mohon, pulanglah. Pulanglah untuk ayah jika memang kau tak mau pulang untuk ibu kau. Ini akan jadi permohonan ayah yang terakhir, maka pulanglah.”
            Maka saat itu juga setelah mengurus perizinan di perusahaan untuk meminta cuti dalam batas waktu yang tidak ditentukan, aku memutuskan pulang dengan penerbangan terakhir sore itu juga.

28 Agustus 2011, Bangsal Elisabeth
            Teman, sore itu aku tiba di bandara Adisucipto Yogyakarta. Seketika itu juga tanpa banyak bicara aku meminta sopir taksi mengantarkanku ke sebuah rumah sakit bertaraf internasional di Yogyakarta. Dengan bergegas ku langkahkan kakiku menuju bangsal Elisabeth no. 208 dimana ibuku dirawat. Ibuku tegeletak tak berdaya di ranjang rumah sakit tiga minggu terakhir setelah kegiatan rutin cuci darah itu mulai tak bereaksi lagi.
Sesampainya aku di depan kamar tempat ibu dirawat langkahku terhenti. Aku amat mengenal suara ini, sebuah suara yang sedari kecil sudah ku kagumi, berat, tegas, dan selalu menggetarkan. Ya, kau benar teman, itu suara ayah. Namun bukan karena suaranya yang khas yang membuat kakiku terhenti seketika, melainkan karena kata katanya.
“Bangunlah Bu, sebentar lagi yang kau rindukan selama ini segera datang. Ku mohon bukalah matamu sejenak, bukankah ini yang ibu inginkan selama ini?. Bertemu dengannya?”. Suara ayah serak dan aku tahu dari jendela kaca rumah sakit jika ayah menggenggam erat tangan ibu. “ Bangunlah Bu, kali ini ayah tak lagi berbohong tentang kedatangan dia seperti kemarin kemarin, dia akan benar benar datang”. Air mata ayah jatuh seketika itu juga. “ ya Allah jika boleh hamba meminta, bangunkan bidadariku, bagaimanapun caranya, meski aku harus menggantikan sakitnya sekalipun. Sungguh Allah, hamba hanya ingin dia terbangun dan menyaksikan sendiri pengabdian dia yang selama ini dirindukan. Sudah cukup aku merasakan baktinya hampir seperempat abad ini, maka biarkan bidadariku terbangun, hamba mohon biarkan aku berada dalam posisinya saat ini, menggantiakan dia yang teramat ku cintai, sungguh aku ikhlas jika aku yang pergi”. rintih ayah dalam do’a.
            Sungguh teman aku baru tahu kemudian, ketika pintanya teramat sanggat mujarab. Maka ketika aku tahu semuanya kesedaran itu mulai menyelimutuku.

4 April 2012, Ketika Semua Penjelasan Masuk Perlahan
            Setangah tahun sudah ibu ku sembuh dari sakitnya. Kesembuhan yang harus ditukar dengan kepergian. Ya teman, kau benar sekali. Ayahku membuktikan sendiri rasa cintanya kepada bidadarinya, dengan memberikan sebagian ginjalnya untuk ibu. Ayah melakukan semuanya dengan keikhlasan sebagaimana yang diucapkannya dalam do’a yang diamini para malaikat di bangsal tempat ibu dirawat.
            Setelah hampir dua bulan lamanya ibu di rawat di rumah sakit, setelah semua penantian terhadap pendonor ginjal tak jua kunjung ada hasilnya, akhirnya ayah memutuskan untuk mendonorkan sendiri ginjalnya untuk ibu.
            Pada awalnya proses operasi itu berjalan lancar. Namun entah apa yang terjadi, ketika sudah ada sedikit harapan untuk kesembuhan ibu, kondisi ayah menurun tiba tiba. Dan sebelum dokter mengatakan apa penyebabnya, ayah telah lebih dulu pergi bersama kebahagiaan yang ia mohon sendiri, kesembuhan ibu. Sungguh teman, menyakitkan sekali melihat sendiri betapa besar pengorbanan ayah. Menyakitkan sekali ketika aku tahu betapa mujarabnya kata yang dia ucap dalam pintanya kala itu. Semuanya terasa menyakitkan, menyesakkan, terlebih ketika aku mengingat saat ayah mengajakku bicara sehari sebelum proses operasi itu dilakukan.
Luluhkan hati kau Bi, maafkanlah ibu kau, ia teramat mencintai kau sehingga ia tak inggin kau menjadi sepertinya. Bi, sesungguhnya jika kau tahu pengorbanan yang ayah lakukan untuk ibu kau, itu bahkan belum seujung kuku dari pengorbanan yang ibu kau lakuakan untuk kau. Percayalah Bi, jika dia adalah satu dari sebab keberadaanmu yang harus lebih kau cintai tiga kali dari ayah. Karena ibu kau selalu istimewa. Dan ketika kesadaran itu mulai muncul dalam benakmu, cintailah ia sebagai satu dari sepasang sebab  keberadaanmu selain ayah, maka syurga dunia dan akhirat untukmu”.
            Sungguh teman, tiada penyesalan terbesar selain mengingat semua keegoisan dan keangkuhan yang ku miliki beberapa saat sebelum saat ini. Penyesalan yang mengantarkanku pada kesadaran itu. penyesalan yang semakin besar karena kesadaran itu muncul setelah ditebus kepergian ayah.
            Ahh,, kau tahu sejak awal teman, ayah selalu paling banyak mengalah, berkorban. Maka ketika kesadaran ini benar benar menyertaiku aku berjanji teman, menggantikan ayah. Menebus semua kebodohan dan kekeras kepalaan yang aku ciptakan sendiri. Menciptakan kehangatan, menjaga seseorang itu yang sejak dulu selalu istimewa. 
            Ayah, aku mencintaimu, semoga ketenangan selalu menyertaimu di alam sana. Aku berjanji ayah, akan ku jaga pasangan sebab keberadaanmu, akan ku abdikan seluruh hidupku hanya untuknya.

Komentar